Selasa, 01 Juni 2010

KRITIK TERHADAP QIYAS

Pendahuluan
Ijtihad merupakan kata kunci bagi upaya kontekstualisasi hukum Islam dan jawaban terhadap berbagai problematika yang menghadang penerapan hukum Islam kontemporer. Ijtihad, menurut Jabir al-Alwani, adalah isu sentral dalam disiplin ushul al-fiqh yang mempunyai konsen pada metode implementasi spirit teks keagamaan dalam berbagai lingkungan sosial budaya. Akan tetapi persoalannya, seperti dilansir oleh al-Na’im, ijtihad dalam kerangka ushul al-fiqh konvensional mempunyai kelemahan-kelemahan metodologis yang fundamental, sehingga apapun yang dilakukan bagi pembaharuan hukum Islam tanpa merekontruksi struktur ushul al-fiqh klasik tidak akan menghasilkan sesuatu yang signifikan. Karenanya Upaya-upaya kontekstualisasi dan reinterpretasi materi hukum hendaknya dibarengi dengan sentuhan kritis terhadap aspek metodologinya. Bagian dari perangkat metodologis yang mendesak untuk ditinjau kembali, menurut penulis, adalah teori qiyas (analogical reasoning), karena teori ini dalam kerangka us}ul al-fiqh merupakan teori yang paling produktif dalam perumusan hukum Islam.

Pembahasan
Secara etimologis, qiyas berarti mengukur, memastikan, membandingkan sesuatu yang semisalnya. Sementara itu, secara istilah ushul fiqh, qiyas adalah menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat (effective cause) hukumnya. Banyak kritikan yang dialamatkan pada teori qiyas, Rasyid Ridha, misalnya, pernah mengatakan bahwa kekakuan teori qiya>s justru telah membatasi bahkan telah mengganjal teks-teks keagamaan sebagai sumber hukum Islam tertinggi. Dari pengantar di atas dapat disampaikan beberapa kritkan terhadap qiyas, yaitu :
1. Kritik Al Jabiri Terhadap Teori Qiyas
Mekanisme Teori Qiyas
Teori qiyas adalah salah satu instrumen kebudayaan yang sengaja dilembagakan pada masa pembakuan (‘asr al-tadwin), pertengahan abad ke-2 H. Teori ini secara etimologis bermakna mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain dan menyamakannya. Makna qiyas dapat dibakukan sebagai “menyamakan”, karena mengukur sesuatu dengan semisalnya berarti menyamakan keduanya. Sedang secara terminologis qiyas adalah menghadirkan hukum bagi suatu kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya secara teks dengan kasus lain yang status hukumnya telah ditetapkan oleh teks karena adanya kesamaan ‘illah.
Berdasar pengertian di atas, menurut al-Jabiri, qiyas tidaklah identik dengan qiyas dalam disiplin logika atau yang lebih populer dengan silogisme. Karena yang disebut terakhir ini merupakan proses pemaduan (al-jam’) antara beberapa preposisi dengan metode tertentu, sedangkan qiyas merupakan proses pengukuran dan pendekatan (muqayasah dan muqarabah), yaitu mengukur kasus baru dengan kasus yang telah ada (mapan). Berdasar pemahaman ini, dapat dikatakan bahwa teori qiyas tidak memunculkan rumusan hukum baru karena ia hanya mengekor pada hukum yang telah ada (hukm al-Shari’). al-Jabiri pada satu kesimpulan bahwa problem pokok dari teori ini adalah ‘illah. Menurutnya ‘illah tidak saja sebagai sentra model penalaran teori ini akan tetapi juga sekaligus sebagai sumber pokok problematika teori ini. Hal itu disebabkan karena proses penalaran ini dari awal hingga akhir berkutat pada ‘illah, dan mengabaikan hal-hal yang lain yang lebih prinsip, sebagaimana teori ini mendapat legitimasi ketika adanya kesamaan ‘illah antara al-asl dan al-far’.
Karena ‘illah hanyalah hasil dari identifikasi mujtahid (istinbat) maka ‘illah hanyalah bersifat dugaan (al-zan) belaka. Menurut al-Jabiri, sangat ironis hukum syara’ didasarkan pada sesuatu yang zanni, bahkan menurutnya dugaan tersebut telah masuk wilayah lain, theologis (kalam). Karenanya al-Jabiri mengatakan bahwa problematika qiyas tidak saja bersifat praktis, tapi juga teoritis, salah satunya teori ini telah terseret pada perdebatan theologis (kalam), yaitu menyangkut apakah kehendak (baca: hukum) Allah itu mempunyai ‘illah atau kausa tertentu atau tidak. Problem yang lain adalah bahwa karena referensi utama hukum adalah teks, maka idetifikasi ‘illah memaksa mujtahid untuk “berjibaku” dengan teks kebahasaan, konsekuensinya bahasa ikut memberikan kontribusi dalam perumusan hukum. Hal itu disebabkan karena upaya “penyingkapan” ‘illah mengharuskan mujtahid untuk lebih banyak menkonstruk pemahaman antara kata dan makna. Sementara sebagian besar “kata” dalam teks keagamaan menunjuk pada keragaman makna. Sebagai misal dalam masalah khamr kata “Ijtanibu” (tinggalkanlah khamr), apakah ia kata kerja yang bersifat imperatif atau tidak, karena bentuk kata kerja dalam bahasa Arab tidak selalu bermakna imperatif, dan usaha penemuan makna ini bersifat ijtihadiyah.
2. Kritik Ibnu Hazm Terhadap Metode Qiyas
Sekurang-kurangnya ada tiga argumen utama yang dikemukakan Ibn Hazm untuk menolak metode qiyas. Pertama, saat terjadi perselisihan dalam suatu soal, Quran memberikan petunjuk yang jelas, yakni kembali kepada Tuhan dan rasul-Nya (QS 4:59). Tidak ada perintah untuk merujuk kepada qiyas sebagai metode untuk menyelesaikan perselisihan pendapat. Kedua, dalam Quran, Tuhan menegaskan bahwa semua hal bisa dijumpai di sana, tak ada satupun yang terlewat (QS 6:38). Dengan kata lain, semua hal ada jawabannya dalam Kitab Suci, dan karena itu sama sekali tak dibutuhkan lagi metode lain, misalnya qiyas. Ketiga, Ibn Hazm, dengan sikap yakin yang agak berlebihan, menunjukkan bahwa dalam semua qiyas yang diajukan oleh para sarjana fiqh yang lain, ia bisa menunjukkkan qiyas lain yang lebih unggul. Dengan kata lain, qiyas sebetulnya tidak menyodorkan jawaban yang tunggal, sebab masing-masing sarjana fikih bisa mengajukan qiyas yang berbeda-beda untuk kasus yang sama. Dengan mangajukan qiyas yang lebih baik dari qiyas fuqaha yang lain, bukan berarti Ibn Hazm setuju dengan metode itu. Dia hanya ingin memakai teknik “mematahkan lawan dengan senjata mereka sendiri”.
Ibn Hazm menutup kritiknya atas metode qiyas dengan sebuah pernyataan menarik berikut ini. Katanya, “Jika para pendukung metode qiyas menunjukkan teks tertentu (nass, teks dalam Quran atau sunnah) yang menyokong pendapat mereka, maka jawaban saya adalah jelas: teks itu benar, tetapi pendapat yang hendak kalian tambahkan/lekatkan (adlaftum) pada teks tersebut melalui sebuah penafsiran sama sekali keliru.” Dengan kata lain, dalam pandangan Ibn Hazm, sejumlah ayat atau hadis yang kerap dipakai oleh para pendukung qiyas untuk menyokong pendapat mereka adalah benar, sebab tak mungkin ada kekeliruan dalam Quran dan sunnah. Yang keliru adalah penafsiran atas ayat dan hadis tersebut. Yang menarik di sini, Ibn Hazm membuat pembedaan antara teks dengan penafsiran. Secara ontologis, sebuah teks jelas benar, tetapi pemahaman/penafsira n atas teks itu bisa salah.

Penutup
Dari keseluruhan bahasan di muka dapat disimpulkan bahwa teori hukum Islam tidak pernah bersifat divine, karena ia merupakan hasil konstruksi pemikiran manusia yang tak lepas dari semangat zaman, unsur ideologi, sosial-budaya yang melingkupinya. Karena itulah, kritik dan rekonstruksi terhadap teori hukum Islam bukanlah barang yang terlarang dan justru perlu mendapatkan apresiasi. Dalam konteks ilmu pengetahuan teori ibarat map yang berguna untuk tujuan-tujuan spesifik dan tak pernah bisa secara komprehensif meng-cover permasalahan.
Dalam kajian Ushul al-Fiqh, teori qiyas merupakan teori hukum yang cukup produktif dalam menelorkan materi-materi hukum Islam. Karena itulah kritik al Jabiri difokuskan pada teori ini. Kritik al Jabiri pada dasarnya tidak sepenuhnya baru, akan tetapi kemampuannya meramu kritik dan sentuhan-sentuhan filsafat strukturalisme dan post-strukturalisme menjadikan kritiknya “tampil beda”. Ia lebih banyak mengelaborasi pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Andalusia, karena menurutnya pemikiran mereka lebih dekat dengan realitas dan memberikan keberanian kepada yuris untuk merumuskan materi hukum dengan pertimbangan kemaslahatan.
Sementara Ibnu Hazm terlalu tendensius dalam menyimpulkan kritikannya terhadap qiyas, kalau kita balik mengkritisinya balik masih banyak celah untuk mengcounter argumentasi yang ia bangun. Namun begitu, apresiasi memang patut diberikan, karena bagaimanapun kritik tersebut harus dijadikan salah satu upaya agar pembangunan motode pengambilan hokum islam ke depan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
- Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, ter. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani , Yogyakarta: LKiS, 1997.
- Abu Zahrah, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, cet. Ke 9, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.
- Al-Jabiri, Al-Khitab al-‘Arabi al-Mu’ashir Dirasah Tahliliyah Naqdiya, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1999.
- Al-Jabiri, Al-Khitab al-‘Arabi al-Mu’ashir Dirasah Tahliliyah Naqdiyah, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1999.
- Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993.
- Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al. (ed.) Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia dan Paramadina.
- Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa: Noorhaidi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
- Wael B. Hallaq, History of Islamic Theories , Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
- Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Vol. I, Dimshaq: Dar al-Fikr, 1986.

1 komentar: